Sebelum bicara tentang bahaya Islam liberal, kita perlu mengetahui apa liberalisme itu sendiri. Liberalisme merupakan sebuah gerakan politik di mana pandangan modern dan kuno dikombinasikan demi menjamin individual mendapatkan kebebasan sebagai tujuan dari pemerintahan. Biasanya hak yang justru bertentangan dengan ajaran agamalah yang dilindungi oleh kelompok-kelompok liberal. Bisa juga kita menganggap bahwa liberalisme berlawanan dengan konservatisme sebab struktur masyarakat tersebutuk oleh kemampuan individual. Jadi, tidak heran juga bila liberalisme pun tidaklah cocok dengan komunisme yang termasuk di dalam ideologi kolektif dan totaliterisme.
Pengertian Islam Liberal
Islam liberal adalah mereka yang dengan sengaja dan terselubung menyebarkan paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Yang disebarkan oleh mereka justru berfokus pada pluralisme, inklusifisme, serta sekulerisme agama. Supaya tidak terkecoh dengan apa yang kelompok ini coba bagikan kepada masyarakat, kita perlu mengerti apa itu ketiga hal yang termasuk pada paham liberalisme.
- Pluralisme agama yakni paham di mana semua agama itu dianggap sejajar. Pada pluralisme agama ini menganggap bahwa setiap agama memiliki teknisnya sendiri-sendiri, namun pada dasarnya memiliki prinsip yang sama. Pada paham ini, kita tidak diperbolehkan untuk menggunakan agama dan keyakinan kita untuk melihat agama lain. Paham yang seperti inilah yang kemudian membuat Islam liberal dianggap sebagai agama syetan sebab agama Tauhid dan agama yang syirik coba disamakan.
- Inklusifisme merupakan sebuah paham di mana agama yang kita anut dan agama lain memiliki posisi yang sama dan dapat saling melengkapi. Misalnya, mungkin agama lain benar namun agama kita salah, lalu jadinya bisa saling mengisi. Inklusifisme ini merupakan paham yang melarang kita untuk menganggap bahwa agama kita yang paling benar.
- Sekulerisme merupakan paham di mana sebuah agama berbeda dengan negara, dunia dan sebagainya.
Islam liberal sendiri diketahui adalah sebuah komunitas atau kelompok yang memiliki anggota yang nyeleneh. Mengapa demikian? Ini dikarenakan kelompok ini sendiri merekrut orang-orang yang kemudian dimanfaatkan serta diperkenalkan ke publik sebagai modernis atau pembaharu. Mungkin beberapa dari kita masih terlalu asing dengan kelompok Islam liberal, namun sebetulnya di Indonesia sudah ada kelompok seperti ini yang menamakan diri mereka Jaringan Islam Liberal alias JIL.
Pengemasan Paham Sesat ala Islam Liberal
Faktanya, bukan hanya JIL saja yang ada di Indonesia, tapi ada banyak lembaga Islam liberal yang sebelum-sebelumnya sudah ada di Indonesia, bahkan ada puluhan. Sekitar 40 lebih lembaga pernah mendapatkan dukungan dana dari lembaga yang ada di Amerika, yaitu The Asia Foundation atau disingkat TAF. Tidak hanya itu, homoseks pun dihalalkan oleh pentolan-pentolannya, seperti Musdah Mulia, dan kemudian masih juga membela ajaran sesau seperti Ahmadiyah. Hanya saja mereka-mereka itulah yang malah termasuk di dalam buku terbitan Amman Yordan yang berisi tentang daftar 500 tokoh Islam yang memiliki pengaruh besar di dunia.
- Bila diumpamakan, maka JIL sebagai lembaga liberal, berikut juga Paramadina dan lembaga-lembaga lainnya merupakan kios kecil atau kaki lima yang menjual Islam liberal, sementara toko-toko yang lebih besar dan resminya adalah perguruan tinggi Islam negeri yang ada di Indonesia. Alasan mengapa mereka disebut sebagai “toko resmi” adalah karena paham kekafiran telah dijual oleh mereka dengan metode intensif. Kita tidak boleh lupa tentang dosen-dosen IAIN se-Indonesia yang disekolahkan oleh mereka ke perguruan tinggi yang ada di Australia, Eropa dan Amerika. Pada dasarnya, yang mereka pelajari adalah studi Islam, namun mereka harus pergi studi ke negeri Barat.
- Belum selesai sampai di sana, paham kesesatan tersebut akhirnya masih ditawarkan kepada universitas lain seperti STAIN, UIN, IAIN dan universitas Islam lainnya yang ada di Indonesia. Jualan tersebut akhirnya telah berganti menjadi paham kesesatan yang sudah ditambahi dengan sisipan dari negeri Barat alias negeri kafir. Untuk menjadikan penyebaran mulus, maka jika diperhatikan kurikulum IAIN yang ada di seluruh Indonesia pun akhirnya mengalami perubahan yang diinisiasi oleh Harun Nasution. Kurikulum yang disebut rasionalislah yang akhirnya menggantikan kurikulum Ahlus Sunnah; yang baru tersebut merupakan aliran sesat.
Untuk memahami Islam, metode sosiologi agama pengaruh Barat-lah yang digunakan daripada menggunakan metode alami yang seharusnya. Maka, jangan heran bila menemukan bahwa agama kemudian hanya dipandang sebagai fenomena sosial dan tidak begitu mendalam akan ajarannya. Setelah adanya paham kesesatan tersebut, ada sejumlah pendapat muncul, seperti misalnya:
- Pernyataan dari Nurcholish Madjid bahwa surga tertinggi adalah tempat bagi Iblis karena tidak mau menyembah Adam. Padahal jelas-jelas Allah telah mengatakan bahwa Iblis itu sombong dan membangkang, tidak masuk di akal apabila ia akan masuk surga. Bahkan kita juga tahu bahwa orang kafir tidak akan bisa masuk surga, tapi ada pendapat yang menyatakan demikian.
- Satu lagi pendapat yang dikemukakan oleh Atho’ Muzhar yang berisi tentang Masjidil Aqsha yang bisa kita temukan di Surat Al-Israa’ pada Al-Qur’an ada di Baitul Makmur di langit dan bukannya di Baitul Maqdis Palestina.
Seperti yang telah dijabarkan sebelumnya, istilah telah dikacaukan oleh para kaum Islam liberal dan para mahasiswa universitas Islam yang ada di Indonesia tampak berhasil dikelabui. Pengelabuan tersebut diantaranya adalah Rifa’at At-Thahthawi, yakni orang Mesir alumni Paris yang dianggap sebagai salah satu modernis dengan mencampur aduk laki-laki dan perempuan secara halal. Bahkan orang tersebut juga akhirnya dianggap sebagai seseorang yang sudah membuat pintu ijthihad terbuka.
Akibat Paham Sesat ala Islam Liberal
Akibatnya yang paling parah dari pengelabuan tersebut di mana paham Islam diselewengkan oleh orang-orang tidak bertanggung jawab adalah memberi kesan bahwa Muhammad bin Abdul Wahab sejajar dengan Rifa’at At-Thahthawi. Padahal kita sebagian besar sudah tahu bahwa Muhammad bin Abdul Wahab adalah seorang penyebar dan pengajar agama Islam yang murni dan benar di Saudi Arabia. Keduanya pada dasarnya bertentangan dengan prinsip yang sama sekali berbeda; yang satu benar adanya, yang satu lagi sesat adanya. Hanya saja, karena kesalahkaprahan dari awal, keduanya mempunyai tingkat sejajar.
Perlu diketahui bahwa pada hakekatnya Muhammad bin Abdul Wahab adalah seseorang yang berjuang untuk membuat ajaran dan pemahaman Islam murni, sedangkan yang dikenal sebagai Rifa’at Thahthawi adalah seseorang yang telah membuat pemahaman Islam kotor dan tercemar. Dengan cara memutarbalikkan fakta yang ada, buku-buku karya dari Harun Nasution yang berisi tentang istilah-istilah pembaruan tersebut disebarkan secara resmi di berbagai perguruan tinggi Islam yang ada di Indonesia. Salah satu karyanya membahas tentang Sejarah, pemikiran dan gerakan Islam yang mengalami pembaruan dan sudah terbit sejak tahun 1975.
Darmogandul dan Gatoloco, mungkin sebagian dari kita pun tidak asing dengan kedua nama tersebut sebab mereka bisa dibilang penginspirasi Nurcholish Madjid dalam penyelewengan istilah. Istilah dikembalikan kepada bahasa dan akhirnya bahasa tersebut diberi arti menurut pengertiannya sendiri. Dari makna buatan sendiri itulah akhirnya muncul hujjah atau semacam argumentasi yang didesain untuk menolak syariat Islam. Bandingkan saja dengan milik Nurcholish Madjid yang sengaja membuat Islam kembali kepada al-Din dan Islam akhirnya dianggap hanya sebagai agama yang tidak ada urusan serta hubungannya dengan negara dan kehidupan di dunia. Dari pemaknaan tersebutlah penerapan syariat Islam ditolak untuk masuk ke dalam kehidupan sehari-hari.
Keduanya sebetulnya memiliki perbedaan, yaitu:
- Perbedaan pertama yang mencolok di sini adalah bahwa Nurcholish Madjid dengan istilah semaunya menolak syariat Islam untuk menjual Islam liberal serta mempertahankan paham pluralismenya yang kemudian disebarluaskan, sementara Darmogandul dan Gatoloco memang menolak syariat Islam dengan tujuan agar kebatinannyalah yang dipertahankan.
- Perbedaan lain yang bisa ditangkap di sini adalah bahwa Nurcholish Madjid merupakan seorang Islam yang sudah mempelajari Islam, bahkan studinya sampai ke luar negeri. Sekembalinya ke tanah air ia pun menjadi pengajar di perguruan tinggi Islam negeri yang ada di Indonesia. Sementara itu, Darmogandul dan Gatoloco bukanlah orang Islam sehingga alasannya untuk menolak syariat Islam dalam kehidupan mereka sudah sangat jelas.
Walau keduanya memiliki latar belakang yang berbeda, cara menolak syariat Islam tetap dianggap sama dan yang membedakannya hanyalah pada ungkapan-ungkapannya saja.
Paham Mengenai Islam Liberal
- Nurcholish Madjid dalam kutipannya pernah mengatakan bahwa fikih telah kehilangan relevansinya terhadap kehidupan di zaman dan era modern ini walaupun kaum reformislah yang menanganinya. Dalam artikelnya pun dikemukakan bahwa perubahan total yang bisa disesuaikan dengan kehidupan modern ini membutuhkan wawasan yang lengkap akan kehidupan modern dengan seluruh aspeknya. Hal ini tidak akan menjadi kepentingan para umat Islam saja, tapi juga menjadi kompetensi untuk kepentingan orang lain. Oleh sebab itu, yang diperlukan di sini bukan hanya hukum Islam, melainkan juga hukum yang bisa memenuhi kepentingan orang lain demi bisa membuat kehidupan bersama di dunia ini menjadi lebih teratur.
- Berbeda dari Gatoloco yang mengambinghitamkan kambing curian ketika melakukan penolakan terhadap syariat Islam, Nurcholish mempunyai kambin hitamnya sendiri. Sudah tertangkap jelas bahwa fiqih-lah yang dijadikan kambing hitam dengan memberi tuduhan bahwa fiqih sudah tidak lagi relevan dengan kehidupan modern yang kini manusia jalani. Tuduhan itu merupakan satu pengingkaran sejati.
- Pemerintah berkenan menggunakan hukum Islam atau tidak, hukum fiqih pada kenyataannya tetap berlaku di masyarakat Islam. Alasan mengapa hukum fiqih tetap ada karena di dalam fiqih telah mencakup hukum praktik dalam Islam dan hukum fiqih ini masih relevan, tidak seperti apa yang dinyatakan oleh Nurcholish. Contoh nyata bahwa hukum fiqih masih ada adalah ketika kita melihat umat Islam masih melakukan wudhu, menunaikan ibadah shalat wajib, berzakat, melaksanakan ibadah puasa, menikah, memperoleh hak waris dan bahkan mengetahui mana yang haram dan halal. Tanpa hukum fiqih, semuanya itu tidak akan ada.
- Hidup di zaman modern bukan berarti kemudian umat Islam harus meninggalkan ajaran agamanya. Hal ini dapat kita lihat dari para umat Islam yang masih menjaga diri mereka dengan baik dari hal-hal yang dianggap haram, termasuk makanan haram, dengan tidak memakannya. Manusia yang beriman kepada Allah SWT dan mengaku bahwa dirinya adalah seorang Islam, ia memiliki kewajiban untuk tahu apa-apa saja yang haram; semuanya itu terdapat secara rinci pada ilmu fiqih. Itulah alasannya mengapa justru alasan dan ulasan Nurcholish-lah yang dianggap tidak relevan.
- Fiqih tetap ada relevansinya dan tidak akan hilang sebab para pembaca kitab-kitab fiqih tetap disarankan oleh para ahli tafsir untuk merujuk kepada hal tersebut demi memperoleh wawasan yang lebih luas. Dengan mengatakan bahwa relevansi fiqih telah hilang, maka hal ini sama dengan mengajarkan kemurtadan. Kekacauan agama semacam itu dipicu oleh orang-orang yang pikirannya telah dipengaruhi besar-besaran oleh para orang kafir.
- Contoh lain yang bisa kita ambil adalah pernyataan Ahmad Wahib di mana pahamnya disebarluaskan oleh seorang tokoh Islam liberal bernama Johan Effendi yang menjadi anggota Ahmadiyah. Dari Ahmad Wahib dikatakan secara menduga-duga bahwa bahan utama agama Islam dan ajarannya bukanlah hadits dan Al-Qur’an, melainkan sejarah Muhammad. Dianggap menduga-duga di sini karena Ahmad Wahib menggunakan kata-kata “menurut saya”, padahal di dalam Islam tidak ada yang tidak pasti dan ia malah berani menyebarkan dugaannya.
Seperti itulah bahaya Islam liberal yang perlu diwaspadai karena Indonesia pun kini tentu memiliki orang-orang semacam itu. Pandangan tersebut dianggap berbahaya sebab kaum pluralis justru memengaruhi supaya orang lain memiliki anggapan bahwa semua agama itu sejalan, sama dan paralel. Jika menemukan ajaran yang seperti itu (pluralisme, sekulerisme, dan inklusifisme) sudah jelas itu merupakan paham dari Islam liberal yang mencoba menghancurkan hadits dan ayat Al-Qur’an serta berlawanan dengan apa yang disabdakan oleh Nabi SAW dan firman dari Allah SWT.
Baca juga artikel tentang islam lainnya