Hukum Wudhu Menggunakan Gayung dan Dalilnya

√ Islamic Base Pass quality & checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Wudhu adalah salah satu syarat agar kita bisa melaksanakan sholat wajib maupun sholat sunnat. Dalam melakukan wudhu, biasanya kita akan menemukan kran air di setiap mesjid atau mushola tempat kita sholat. Mengambil wudhu dengan menggunakan air yang mengalir membuat kita lebih mudah dan menyegarkan dalam mengambil wudhu.

Namun jika di rumah tidak ada kran air khusus wudhu, apakah boleh kita menggunakan gayung untuk mengambil wudhu? Hukum wudhu menggunakan gayung boleh-boleh saja dan sah. Tidak ada dalil yang melarang untuk berwudhu dengan gayung.

Syarat Sah Wudhu adalah Air yang Bersih

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا

Dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih. [al-Furqân/25:48]

Baca juga:

Dalam firman-Nya Allah menjelaskan bahwa air yang diturunkan ke bumi amatlah bersih. Sedangkan dalam syarat berwudhu adalah air yang bersih, maka jika air dalam gayung tersebut bersih tentu sah untuk berwudhu. Jadi hukum wudhu menggunakan gayung ini tentu juga dibolehkan.

Air yang mengalir bukanlah syarat sah wudhu, namun jika ingin berwudhu menggunakan gayung, hendaklah agar mencuci tangan terlebih dahulu sebelum mencelupkannya.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدِ بْنِ عَاصِمٍ الأَنْصَارِىِّ – وَكَانَتْ لَهُ صُحْبَةٌ – قَالَ قِيلَ لَهُ تَوَضَّأْ لَنَا وُضُوءَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَعَا بِإِنَاءٍ فَأَكْفَأَ مِنْهَا عَلَى يَدَيْهِ فَغَسَلَهُمَا ثَلاَثًا ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فَاسْتَخْرَجَهَا فَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ مِنْ كَفٍّ وَاحِدَةٍ فَفَعَلَ ذَلِكَ ثَلاَثًا ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فَاسْتَخْرَجَهَا فَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فَاسْتَخْرَجَهَا فَغَسَلَ يَدَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فَاسْتَخْرَجَهَا فَمَسَحَ بِرَأْسِهِ فَأَقْبَلَ بِيَدَيْهِ وَأَدْبَرَ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ثُمَّ قَالَ هَكَذَا كَانَ وُضُوءُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Dari Abdullah bin Zaid bin ‘Âshim al-Anshâri, dia adalah seorang sahabat Nabi, dikatakan kepadanya, “Praktikkanlah untuk kami wudhu’ Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam !” Dia meminta wadah air, lalu dia menumpahkan sebagian air itu pada kedua (telapak) tangannya, lalu dia membasuhnya tiga kali.

Lalu dia memasukkan satu (telapak) tangannya (ke dalam wadah air itu), lalu mengeluarkannya, lalu dia berkumur-kumur dan menghirup air ke hidung dari satu telapak tangannya. Dia melakukannya tiga kali.

Lalu dia memasukkan satu (telapak) tangannya (ke dalam wadah air itu), lalu mengeluarkannya, lalu dia membasuh wajahnya tiga kali.

Baca juga:

Lalu dia memasukkan satu (telapak) tangannya (ke dalam wadah air itu), lalu mengeluarkannya, lalu dia membasuh kedua tangannya sampai siku-siku dua kali, dua kali.

Lalu dia memasukkan satu (telapak) tangannya (ke dalam wadah air itu), lalu mengeluarkannya, lalu mengusap kepalanya. Dia memajukan kedua tangannya lalu memundurkannya, kemudian dia membasuh kedua kakinya sampai mata kaki. Kemudian dia berkata, “Demikianlah wudhu’ Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .” [HR. Muslim, no. 235]

Pemakaian Air Saat Berwudhu

Selain itu, berwudhu juga tidak musti dengan air yang banyak. Hanya dengan segayung air pun diperbolehkan selama setiap anggota tubuh yang perlu disucikan bisa mendapatkan aliran air.

أجمع المسلمون على أن الماء الذي يجزئ في الوضوء والغسل غير مقدر بل يكفي فيه القليل والكثير إذا وجد شرط الغسل وهو جريان الماء على الأعضاء

“Para Ulama Muslimun sepakat bahwa air yang dianggap mencukupi dalam wudhu dan mandi tidaklah ditentukan, tetapi dianggap cukup air sedikit atau banyak ketika sudah memenuhi syarat mandi [dan wudhu], yaitu mengalirkan air ke anggota tubuh.” (an-Nawawi, Syarh an-Nawawi ‘ala Muslim, juz IV, halaman 2).

Wudhu dengan air yang berlebihan justru termasuk ke dalam perbuatan menyia-nyiakan sehingga harus dihindari. Baik berwudhu menggunakan kran maupun gayung, haruslah dengan air secukupnya dan tidak berlebihan. Imam Nawawi mengatakan,

اتفق أصحابنا وغيرهم على ذم الإسراف في الماء في الوضوء والغسل

“Para sahabat kami (Syafi’iyah) dan selain mereka sepakat untuk mencela praktek berlebihan dalam menggunakan air, dalam wudhu dan mandi”. (an-Nawawi, al-Majmû’, juz II, halaman 190)

Baca juga:

Dalam sebuah riwayat juga dijelaskan bahwa air yang digunakan juga tidak boleh berlebihan,

كَانَ النَّبِىُّ ﷺ يَغْسِلُ أَوْ كَانَ يَغْتَسِلُ بِالصَّاعِ إِلَى خَمْسَةِ أَمْدَادٍ وَيَتَوَضَّأُ بِالْمُدِّ

“Nabi Muhammad ﷺ mandi besar dengan air satu sha’ hingga empat mud dan berwudhu dengan air satu mud.” (HR. Bukhari)

Jumlah satu mud air itu adalah sejumlah air yang diambil dengan dua telapak tangan orang dewasa yang disatukan. Telapak tangan yang menjadi patokan adalah telapak tangan standar orang Arab, sedikit lebih lebar dari telapak tangan orang Indonesia. Dalam kitab Fath al-Qadîr Fî ‘ajâ’ib al-Maqâdîr karya Kyai Maksum bin Ali disebutkan bahwa satu mud air adalah setara dengan 786 gram. Adapun menurut kitab al-Fiqh al-Islâmiy Wa’adillatuh karya Dr. Wahbah az-Zuhaily disebutkan bahwa satu mud setara 675 gram (Juz I, halaman 533)

Syaikh Ibnu Ruslan dalam kitab Zubad-nya:

مَكْرُوهُهُ فِي الْمَاءِ حَيْثُ أَسْرَفَا # وَلَوْ مِنْ الْبَحْرِ الْكَبِيرِ اغْتَرَفَا

“Makruhnya air wudhu adalah sekiranya berlebih, meskipun ia mengambil dari lautan besar.” (Nadham Zubad Ibnu Ruslân)

Baca juga:

Dengan demikian, tentang ukuran atau banyaknya air wudhu dengan gayung tidaklah masalah. Bahkan jumlah ini tergolong baik sebab lebih dekat pada aturan sunnah. Satu mud sendiri sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ , yakni tidak sampai satu gayung dalam ukuran gayung standar yang tak terlalu kecil.

Demikianlah hukum wudhu menggunakan gayung. Perlu dicatat di sini bahwa jumlah yang terlalu sedikit juga makruh sebab mengkhawatirkan airnya tidak merata. Para ulama fiqih juga menyebut contoh yang terlalu sedikit itu misalnya dengan taqtîr atau meneteskan-neteskan air pada anggota wudhu. (lihat misalnya: al-Bujairami, Hasyiyat al-Bujairamî ‘ala al-Khathîb, Juz I, halaman 175).

fbWhatsappTwitterLinkedIn