Hukum Tidak Mengerjakan Shalat Ied Secara Sengaja dan Dalilnya

√ Islamic Base Pass quality & checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Dalam Islam, dikenal dua macam shalat, yakni shalat wajib atau shalat fardhu dan shalat sunnat. Shalat wajib adalah shalat lima waktu yang jika ditinggalkan maka akan berdosa. Sedangkan shalat sunnat adalah shalat tambahan di luar shalat wajib yang jika dikerjakan berpahala dan tidak berdosa jika ditinggalkan.

Ada pula shalat yang dikerjakan hanya satu tahun sekali, yakni shalat Idul Fitri. Di saat Idul Fitri, setiap Muslim diperintahkan untuk mengerjakan shalat Ied di lapangan secara berjamaah. Tapi apa hukumnya jika seseorang tidak mengerjakan shalat Ied dengan sengaja? Apakah shalat Ied termasuk shalat wajib atau shalat sunnat?

Dalam perkara hukum shalat Ied terdapat beberapa perbedaan di kalangan ulama.

Baca juga:

Pertama, shalat ‘Ied hukumnya sunnah. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) Ulama.

Para pendukung pendapat yang satu ini berdalil dengan hadits yang muttafaq ‘alaih, dari hadits Thalhah bin Ubaidillah, ia berkata : “Telah datang seorang laki-laki penduduk Nejed kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kepalanya telah beruban, gaung suaranya terdengar tetapi tidak bisa difahami apa yang dikatakannya kecuali setelah dekat. Ternyata ia bertanya tentang Islam.

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :”Shalat lima waktu dalam sehari dan semalam”. Ia bertanya lagi : Adakah saya punya kewajiban shalat lainnya ?. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :”Tidak, melainkan hanya amalan sunnah saja”. Beliau melanjutkan sabdanya :”Kemudian (kewajiban) berpuasa Ramadhan”. Ia bertanya : Adakah saya punya kewajiban puasa yang lainnya ?.

Beliau menjawab :”Tidak, melainkan hanya amalan sunnah saja”. Perawi (Thalhah bin Ubaidillah) mengatakan bahwa kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan zakat kepadanya. Iapun bertanya ;”Adakah saya punya kewajiban lainnya ?. “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :

”Tidak, kecuali hanya amalan sunnah saja”. Perawi mengatakan :”Setelah itu orang ini pergi seraya berkata : Demi Allah, saya tidak akan menambahkan dan tidak akan mengurangkan ini”. (Menanggapi perkataan orang itu) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :”Niscaya dia akan beruntung jika ia benar-benar (melakukannya)”. Mereka (para pendukung pendapat kesatu) mengatakan :

Hadits ini menunjukkan bahwa shalat selain shalat lima waktu dalam sehari dan semalam, hukumnya bukan wajib (Fardhu) ‘Ain (bukan kewajiban perkepala). Dua shalat ‘Ied termasuk kedalam keumuman ini (yakni bukan wajib melainkan hanya sunnah saja, -pen). Pendapat ini di dukung oleh sejumlah Ulama diantaranya Ibnu al-Mundzir dalam “Al-Ausath IV/252”.

Kedua, hukumnya fardhu kifayah, artinya (yang penting) dilihat dari segi adanya shalat itu sendiri, bukan dilihat dari segi pelakunya. Atau dilihat dari  ada tidaknyanya sekelompok pelaku yang melaksanakan salat Ied, bukan seluruh pelaku. Ini artinya jika ada sekelompok orang yang melaksanakannya, berarti kewajiban melaksanakan shalat ‘Ied itu telah gugur bagi orang lain. Ulama yang sejalan dengan pendapat ini adalah Hambali.

Baca juga:

Pendapat kedua ini didasari bahwa shalat ‘Ied adalah shalat yang tidak diawali adzan dan iqamat. Karena itu shalat ini serupa dengan shalat jenazah dan shalat jenazah hukumnya fardhu kifayah. Begitu pula shalat ‘Ied juga merupakan syi’ar Islam. Disamping itu, mereka juga berdalil dengan firman Allah : “ Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan berkorbanlah (karena Rabbmu) “. ( Q. S. Al-Kautsar : 2)

Kelompok ini juga berkeyakinan bahwa pendapat ini merupakan titik gabung antara hadits (kisah tentang) Badui Arab (yang digunakan sebagai dalil oleh pendapat pertama) dengan hadist-hadits yang menunjukkan wajibnya shalat ‘Ied. Perhatikanlah Al-Mughni II/224.

Ketiga, fardhu ‘Ain (kewajiban bagi tiap-tiap kepala), yang artinya akan berdosa bagi siapa yang meninggalkannya. Hukum ini adalah pendapat dari madzhab Hanafiyah serta pendapat salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga mendukung pendapat ini.

Beliau menjelaskan dalil-dalil yang menyatakan bahwa hukum shalat Ied adalah wajib ‘Ain (kewajiban perkepala). Beliaupun menyebutkan bahwa para sahabat dulu melaksanakan shalat ‘Ied di padang pasir (tanah lapang) bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memberikan keringanan kepada seorangpun untuk melaksanakan shalat tersebut di Masjid Nabawi.

Berarti hal ini menunjukkan bahwa shalat ‘Ied termasuk jenis shalat Jum’at, bukan termasuk jenis shalat-shalat sunnah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tidak pernah membiarkan shalat ‘Ied tanpa khutbah, persis seperti dalam shalat Jum’at.

Hal semacam ini tidak didapati dalam Istisqa’ (do’a meminta hujan), sebab Istisqa’ tidak terbatas hanya dalam shalat dan khutbah saja, bahkan Istisqa’ bisa dilakukan hanya dengan berdo’a di atas mimbar atau tempat-tempat lain. Sehingga karena itulah Abu Hanifah Rahimahullah membatasi Istisqa’ hanya dalam bentuk do’a, ia berpandangan bahwa tidak ada shalat khsusus untuk istisqa’.

Pendapat ini juga dikuatkan dengan sebuah riwayat yang jelas dari Ali (bin Abi Thalib) Radhiyallahu ‘anhu, yang menugaskan seseorang untuk mengimami shalat (‘Ied) di Masjid bagi golongan kaum Muslimin yang lemah. Andaikata shalat ‘Ied itu sunnah, tentu Ali tidak perlu menugaskan seseorang untuk mengimami orang-orang yang lemah di Masjid.

Karena jika memang sunnah, orang-orang lemah ini tidak perlu melaksanakannya, tetapi Ali tetap menugaskan seseorang untuk mengimami mereka di Masjid, berarti ini menunjukkan wajib, sehingga orang-orang lemahpun tetap harus melaksanakannya.

Dalil lainnya adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar kaum wanita keluar (ke tanah lapang) walaupun sedang haidh guna menyaksikan keberkahan hari ‘Ied dan do’a kaum Muslim. Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para wanita haidh untuk keluar rumah padahal mereka tidak shalat, apalagi bagi para wanita yang sedang dalam keadaan suci.

Ketika ada diantara kaum wanita berkata kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa :”Salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab (kain menutupi seluruh tubuh wanita dari atas kepala hingga ujung kaki, beliau tetap tidak memberikan keringanan kepada mereka untuk tidak keluar, beliau bahkan menjawab : “Hendaknya ada yang meminjamkan jilbab untuknya”. [Hadits shahih, muttafaq ‘alaihi, sedangkan lafalnya adalah lafal Imam Muslim]

Baca juga:

Padahal dalam shalat Jum’at dan shalat berjama’ah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (bagi para wanita), “Dan (di dalam) rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka”.

Firman Allah berbunyi, “Dan hendaklah kamu bertakbir (mengagungkan) kepada Allah atas petunjuk-Nya”. [Q. S. Al-Baqarah : 185].

Pada ayat itu Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan bertakbir pada hari Iedul Fitri dan Iedul Adha. Artinya, pada hari itu Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan shalat yang meliputi adanya takbir tambahan, sesuai dengan cara takbir pada raka’at pertama dan raka’at kedua. [Demikianlah secara ringkas apa yang dikemukakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah disertai sedikit penambahan keterangan dan pengurangan. Lihat Majmu’ Fatawa XXIV/179-183].

Imam Shana’ani, dan Shidiq Hasan Khan dalam “Ar-Raudhah An-Nadiyah” menambahkan bahwa apabila (hari) ‘Ied dan Jum’at bertemu, maka (hari) ‘Ied menggugurkan kewajiban shalat Jum’at. Padahal shalat Jum’at adalah wajib, tidak ada yang bisa menggugurkan kewajiban ini melainkan yang menggugurkannya pasti merupakan perkara yang wajib. [Lihat pula Subul as-Salam II/141].

Jadi hukum meninggalkan shalat Ied bergantung pada pendapat ulama yang diikuti. Namun pendapat yang paling kuat adalah pendapat ketiga, yakni fardu ‘ain, karena bahkan seorang wanita yang biasanya dianjurkan untuk shalat di rumah saja diperintahkan untuk keluar, maka ini berarti menunjukkan bahwa shalat Ied sangatlah penting.

fbWhatsappTwitterLinkedIn