Hukum Menari dalam Islam dan Dalilnya

√ Islamic Base Pass quality & checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Joget atau menari dalam ilmu fikih disebut sebagai ar-raqshu. Dalam sejarah Islam sendiri, seni tari pada mulanya berbentuk sederhana yang ahnya dilakukan oleh orang-orang yang di luar Jazirah, Arab seperti Sudan, Ethiopia dan lainnya. Seni tari pada masa itu umumnya dilakukan saat hari-hari gembira seperti perayaan hari-hari besar agama. Seperti yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Anas r.a :

لَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ (ص) الْمَدِيْنَةَ لَعِبَتِ الْحَبْشَةُ فَرْحًا بِذلِكَ لَعِبُوْا بِحِرَابِهِمْ

Artinya : “Saat Rasulullah SAW datang ke Madinah, orang-orang dari Habsyah (Ethiopia sekarang) menari dengan penuh gembira sambil memainkan senjata mereka untuk menyambut kedatangan beliau”

Imam Ahman dan Ibnu Hibban pun meriwayatkan sanad yang shahih dari Anas r.a, beliau berkata :

كَانَتِ الْحَبَشَةُ يَزْفِنُوْنَ بَيْنَ يَدَيْ رَسُوْلِ اللهِ (ص) وَ يَرْقُصُوْنَ وَ يَقُوْلُوْنَ: مُحَمَّدٌ عَبْدٌ صَالِحٌ

Artinya : “Orang-orang Habsyah saat hari raya Idul Adha menari di hadapan Rasulullah. Dan kemudian banyak anak-anak yang berkumpul di sekitar untuk menonton tarian yang mereka bawakan. Bahkan orang-orang Habsyah juga menyanyi dengan sya’ir Muhammad adalah hamba yang shaleh secara berulang-ulang”

Setelah jaman Rasulullah SAW, khususnya di jaman Daulah ‘Abbasiyyah’, seni tari berkembang dengan sangat pesat. Apalagi kehidupan mewah kaum Muslimim saat itu menuntut mereka untuk menikmati suatu hiburan yang seakan-akan menjadi suatu keharusan.

Padahal hukum mendengarkan alunan lagu saja adalah mubah , tetapi orang-orang kala itu telah banyak yang melakukannya. Hal ini yang kemudian memuculkan ketidaksetujuan diantara para ulama seperti Imam Syaikh-ul-Islam dan Ahmad Ibnu Taimiyah.

Namun, ada pula yang membolehkan seni tari  yaitu Ibrahim Muhammad Al-Halabi asalkan tidak melanggar norma-norma yang berlaku.

Yang perlu diperhatikan disini adalah, bahwa dalam sejarah Islam tari-tarian itu hanya dilakukan oleh wanita-wanita dari kalangan budak yang bekerja di istana, rumah pejabat atau di rumah rakyat biasa.

Akan tetapi, terdapat penari pria, misalnya Ibrahim Al-Maushili yang wafat 235 H atau adapula sekelompok penari yang tercatat dalam kitab Al-Aghani.

Selain itu, tarian yang dilakukan di masa sejarah Islam tidak pernah dilakukan di tempat terbuka dimana pennotonnya bercampur antara laki-laki dan perempuan.

Berbeda dengan nyanyian ketika pemerintahan khilafah ‘Abbasiyah’ yang sudah diperbolehkan untuk menyanyi di tempat umum seperti jembatan, di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya. Tempat-tempat les privat menari dan menyanyi banyak dibuka di rumah-rumah kaya maupun miskin serta tidak dilakukan di tempat-tempat khusus seperti night club atau tempat lainnya.

Hukum menari dalam Islam

Selain Al-Quranmengatur hukum menolak jabatan dalam islam, hukum tidak sengaja mendahului imam ketika sholat berjamaah, hukum sholat berjamaah dengan wanita yang bukan muhrim, hukum berjabat tangan bukan muhrim dalam islam dan hukum lainnya. Allah juga mengatur hukum menari dalam Islam, Allah berfirman dalam QS. Al-Isra: 37 yang berarti :

“Dan jangan kamu berjalan di muka bumi dengan al-marah, karena sungguh kamu tidak akan menembus bumi dan tidak akan sampai setinggi gunung”

Kemudian Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan

اسْتَدَلَّ الْعُلَمَاءُ بِهَذِهِ الْآيَةِ عَلَى ذَمِّ الرَّقْصِ وَتَعَاطِيهِ. قَالَ الْإِمَامُ أَبُو الْوَفَاءِ ابْنُ عَقِيلٍ: قَدْ نَصَّ الْقُرْآنُ عَلَى النَّهْيِ عَنِ الرَّقْصِ فَقَالَ:” وَلا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحاً” وَذَمَّ الْمُخْتَالَ. والرقص أشد المرح والبطر

Artinya : “Para ulama berdalil dengan ayat ini guna mencela joget dan pelakunya. Al-Imam Abul Wafa bin Aqil berkata, ‘Al-Qur’an jelas melarang joget daalm firmanNya yaitu janganlah berjalan di muka bumi dengan al-marah (penuh kesenangan). Dalam ayat ini juga mencela kesombongan. Dan joget adalah bentuk ekspresi dari senang-senang dan penuh kesombongan” (Al-Qurthubi, 10/263)

Asy-Syaikh Al-Faqih Muhammad Shalih Al-Utsaimin berkata,

الرقص مكروه في الأصل ، ولكن إذا كان على الطريقة الغربية ، أو كان تقليداً للكافرات : صار حراماً

Artinya : “Menari dalam hukum asalnya makruh. Namun apabila dilakuka dengan cara neyeleneh atau meniru orang kafir, maka hukumnya haram” (Liqaa Baabil Maftuh, 41/18).

Menari disini yang dimaksud adalah menari hukumnya makruh, namun akan dilarang keras oleh agama jika menari dengan membuka aurat, bergaya wanita, meniru orang kafir, minum khamr dan lainnya. Berikut adalah beberapa madzhab ulama mengenai hukum menari dalam Islam :

Madzhab Syafi’iyyah

Madzhab Syafi’iyyah mengatakan bahwa hukum tarian adalah MUBAH, kecuali apabila terdapat tarian goyangan patah-patah seperti yang dilakukan laki-laki yang berpura-pura menjadi perempuan, maka hukumnya malah menjadi haram. Beberapa ulama di Madzhab Syafi’iyyah adalah :

  1. Hasyiah al-Qolyubi dan Umairah mengatakan :

( لا الرقص ) قال ابن أبي الدم لو رفع رجلا وقعد على الأخرى فرحا بنعمة الله تعالى عليه إذا هاج به شيء أخرجه وأزعجه عن مكانه ، فوثب مرارا من غير مراعاة تزين فلا بأس به

Artinya : Dan bukan ar-Raqsh, Ibnu Abi ad-Dam berkata, “Seandainya seseorang mengangkat satu kaki dan duduk di atas satu kaki lainnya karena rasa gembira akan nikmat Allah SWT, apabila sesuatu mengorbankan hatinya, lalu dia mengeluarkan kaki satunya dan bergoncang dari tempatnya, lalu melompat dari tempatnya beberaapa kali tanpa memperhatikan perhatian manusia, itu tidaklah mengapa”

  1. Imam an-Nawawi mengatakan :

لا الرقص، إلا أن يكون فيه تكسر كفعل المخنث

Artinya : “Dan tidak haram ar-Raqsh (tarian) kecuali jika terdapat goyangan oatah seperti perilaku bencong”

  1. Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan :

وأما الرقص فلا يحرم لفعل الحبشة له في حضرته مع تقريره عليه

Artinya : “Adapun ar-Raqsh tidak haram karena Habasyah di hadapan Nabi disertai pengakuan Nabi kepadanya”

Madzhab Hanbaliyyah

Menurut ulama madzhhab Hanabaliyyah, ar-Raqsh memiliki hukum MAKRUH jika tujuannya adalah permainan dan hukumnya MUBAH jika ada hajat syar’iyyah. Beberapa ulama dalam Madzhab Hanbaliyyah :

  1. Imam Ahmad bin Habbal mengatakan :

إنّ هؤلاء الصوفية جلسوا فى المساجد على التوكل بغير علم ” فقال الإمام أحمد ” العلم أقعدهم فى المساجد ” فقيل له ” إنّ همّتهم كبيرة ” قال أحمد ” لا أعلم قومًا على وجه الأرض أحسن من قوم همّتُهم كبيرة ” فقيل له ” إنّهم يقومون و يرقصون ” فقال أحمد “دعهم يفرحوا مع الله ساعة

Artinya : “Sesungguhnya para shufi yang duduk di masjid dengan tawakkal tanpa ilmu? maka Imam Ahmad menjawab, “Mereka pakai ilmu, duduklah bersama mereka di masjid” Ada yang bertanya lagi, “Semangat mereka besar sekali” Imam Ahmad menjawab, “Aku tidak mengetahui kaum di muka bumi lebih baik dari kaum yang semngatnya besar, lalu ditanya lagi, “Sesungguhnya mereka (para shufi) itu berdiri dan menari-nari, maka Imam Ahmad menjawab, “Biarkan mereka gembira sesaar bersama Allah SWT.

  1. Al-Mardawi mengatakan :

وذكر في الوسيلة : يكره الرقص واللعب كله ، ومجالس الشعر

Artinya : “Disebutkan dalam al-Wasilah, : Dimakruhkan ar-Raqsh dan semua yang sifatnya permainan serta majlis-majlis syi’ir”

  1. Al-Bahuti mengatakan :

( ويكره الرقص ومجالس الشعر وكل ما يسمى لعبا )  ذكره في الوسيلة لحديث عقبة الآتي ( إلا ما كان معينا على قتال العدو ) لما تقدم

Artinya : “Dan dimakruhkan ar-Raqsh dan majlis-majlis syi’ir serta semua yang bernama permainan. Telah disebutkan dalam al-Wasilah karen ahdits Uqbah yang datang. Kecuali ar-Raqsh atau permainan yang membantu memerangi musuh, sebagaiman telah berlalu”

Dari kedua hukum diatas, menurut madzhab Syafi’iyyah, hukum menari jika boleh jika tidak ada goyangan seperti bencong, bila ada maka hukumnya haram. Sedangkan menurut madzhab Hanbaliyyah hukumnya adalah makruh bila terdapat unsur permainannya.

Hukum menarinya wanita di depan lelaki non haram

Walaupun hukum asalnya menari adalah makruh, akan tetapi bila dilakukan di depan lelaki non haram hukumnya menjadi haram. Sebab hal ini dapat menimbulkan godaan besar bagi lelaki termasuk perbuatan fahisyah yang mendekati zina. Lelaki muslim dilarang memandang wanita yang tidak halal baginya dengan sebgaja baik dengan atau tanpa syahwat. Jika dengan syahwat untuk bernikmat-nikmat, maka lebih terlarang lagi. Rasulullah SAW bersabda :

ما تَركتُ بَعدي فِتنَةً أضرَّ على الرجالِ منَ النساءِ

Artinya : “Tidaklah ada sepeninggalku cobaan yang paling berbahaya bagi lelaki selain fitnah terhadap wanita” (HR. Al-Bukhari 5096, Muslim 2740).

Hukum menarinya wanita di depan suami

Menari juga bisa dilakukan seorang istri sebagai kunci rumah tangga bahagia. Menarinya istri di depan suami hukumnya adalah halal sebab tidak ada faktor kesombongan dan tidak termasuk perbuatan dana’ah dan safah. Seperti hakikat tujuan pernikahan dalam Islam yakni membangun rumah tangga dalam Islam dan membentuk keluarga sakinah mawadah warahmah. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin mengatakan :

أما رقص المرأة أمام زوجها وليس عندهما أحد فلا بأس به؛ لأن ذلك ربما يكون أدعى لرغبة الزوج فيها، وكل ما كان أدعى لرغبة الزوج فيها فإنه مطلوب ما لم يكن محرماً بعينه، ولهذا يسن للمرأة أن تتجمل لزوجها، كما يسن للزوج أيضاً أن يتجمل لزوجته كما تتجمل له

Artinya : “Adapun menarinya wanita di depan suami tanpa dilihat orang lain tidak mengapa. Hal ini dapat membangkitkan cinta suami pada istrinya. Dan semua hal yang membangkitkan cinta suami pada istri dituntut pada syariat selama bukan perbuatan yang haram. Oleh karena itu, istri disunnahkan berhias di depan suami, dan suami disunnahkan berhias di depan istri (Liqa Asy-Syahri, 12/19)”

Maka dari itu untuk meningkatkan keimanan kepada Allah SWT, selalu terapkan cara meningkatkan akhlak terpuji dengan tidak melakukan apa yang Allah larang. Demikian hukum menari dalam Islam. Semoga bermanfaat.

fbWhatsappTwitterLinkedIn