Hukum Menolak Jabatan Dalam Islam dan Dalilnya

√ Islamic Base Pass quality & checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Dalam Al Quran, Allah berfirman: “Sesungguhnya Kami menawarkan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung. Namun mereka menolak dan khawatir untuk memikulnya. Dan dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim lagi amat bodoh.” (Al-Ahzab 72)

Amanah dalam Islam adalah tanggung jawab yang besar yang akan dipertanyakan di akhirat nanti.  Seluruh alam semesta menolak amanah yang diberikan Allah SWT dan menimpakannya pada manusia, padahal manusia adalah mahluk yang dzhalim. Menolak jabatan sama dengan menolak amanah yang diberikan.  Jika kebanyakan manusia sekarang memohon untuk sebuah jabatan,  lalu bagaimana dengan mereka yang menolak jabatan? Apakah diperbolehkan? Apakah sama dengan hukum menolak rezeki dalam Islam?

Dalam sebuah wasiat, Utsman r.a menunjuk Abdurrahman bin Auf r.a untuk menggantikannya. Humran pun segera menemui Abdurrahman. Humran berkata, “Kabar gembira untukmu, wahai Abdurrahman.”

“Apa yang kau maksudkan?” kata Abdurrahman bin Auf r.a.

“Sesungguhnya Utsman telah berwasiat bahwa khalifah penggantinya adalah engkau,” kata Humran.

Bukannya bergembira, tapi Abdurrahman langsung berdiri sambil berdoa, “Ya Allah, jika hal ini memang berasal dari Utsman, maka wafatkanlah aku sebelum terjadi (siyar A’laminnubala.’ 1/102)

Dan doanya itu bukanlah sebuah pencitraan demi jabatan tapi benar-benar doa yang dipanjatkan pada waktu terkabulnya doa. Atas ijin Allah SWT, selang 6 bulan kemudian, beliau pun meninggal dunia. Kisah ini menunjukkan betapa takutnya para sahabat dulu dengan sebuah jabatan. Sebagaimana Rasulullah SAW pernah bersabda, “Sesungguhnya kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan, padahal kelak di hari kiamat ia akan menjadi penyesalan.” (H.R. Bukhari no 7148)

Baca juga:

Terdapat riwayat lain tentang sahabat yang menolak jabatan, Amir bin Sa’ad pernah berkata kepada bapaknya, Sa’ad bin Abi Waqqash r.a,

”Wahai ayahku, kenapa engkau lebih memilih berada di pelosok bersama kambing-kambingmu sementara orang sedang membincangkan kekuasaan di kota Madinah?” Sa’ad r.a berkata,” Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda,”Sesungguhnya Allah mencintai hambanya yang bertaqwa, berkecukupan dan menyembunyikan popularitasnya.” (siyar A’laminnubala, 1/81)

Ada banyak kemudahan yang dicapai dengan sebuah jabatan. Tapi jika hanya melihat dari sisi kenikmatan duniawi, tentunya semua orang pasti menginginkan jabatan.

Tapi jika melihat sisi negatifnya, maka semua orang akan takut jika diberi jabatan. Pemahaman yang seperti inilah yag dicapai oleh para sahabat, mereka mengasingkan diri dan sebagian lagi menghadap langsung untuk menyatakan ketidaksiapannya menerima jabatan. Mereka khawatir keimanan dan kesalehannya akan terkikis oleh fitnah kekuasaan itu akibat timbulnya penyakit hati menurut Islam, seperti sombong dalam Islam dan pamer dalam Islam.

Baca juga:

Ketika Yazid bin Muhallab menjadi Gubernur di Khurasan, ia mengatakan kepada stafnya,”carikan untukku seorang lelaki yang sempurna perilaku dan karakternya.” Mereka pun menyebut nama Abu Burdah al Asya’ri. Lalu sang Gubernur segera menemui Abu Burdah.

Betul apa yang dikatakan stafnya. Bahkan ia melihat sosok Abu Burbah jauh lebih baik dari yang didengarnya sehingga sang Gubernur langsung mengangkatnya jadi pejabat. Tapi apa yang terjadi? Abu Burdah menolaknya dan berkata,”Tidakkah aku kabarkan kepadamu Hadist Rasulullah saw,”Siapa yang memikul satu pekerjaan padahal ia tahu dirinya bukan ahli dalam pekerjaan itu maka siapkanlah baginya neraka, dan aku bersaksi bahwa aku tidak ahli pada jabatan yang engkau berikan (Aina Nahnu min Akhlaissalaf, 39)

Pada jaman itu, menolak jabatan sering dilakukan oleh para sahabat jika mereka merasa tidak mampu untuk mendampuk posisi yang diberikan. Mereka lebih takut kepada tanggung jawab yang tidak bisa mereka pikul dan keimanan yang mungkin akan semakin menipis akibat godaan duniawi. Hukum menolak jabatan dalam Islam tergantung pada niat dan kemampuan personalnya.

Jika ia tidak mempunyai kemampuan untuk melaksanakan tanggung jawabnya dalam jabatan tersebut, maka hukumnya boleh. Tapi jika ia mempunyai kemampuan dan niat yang baik untuk melakukan kemajuan yang baik sesuai syariat Islam, maka hukumnya tidak boleh. Ia harus mengisi posisi jabatan yang  ditawarkan tersebut, karena ditakutkan jika ia menolak jabatan dan posisi tersebut justru diisi oleh orang yang tidak mampu dan bodoh, sedangkan bahaya kebodohan dalam Islam adalah akan terjadi kerusakan.

Rasulullah SAW. pernah berpesan kepada sahabatnya, Abu Dzar r.a agar tidak meminta jabatan karena beliau tahu bahwa ia tidak mampu ,”Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah sementara kepemimpinan itu adalah amanat. Dan nanti pada hari kiamat, ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali orang yang mengambil haknya dan menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut (H.R. Muslim, 1825)

Baca juga:

Rasulullah SAW juga bersabda “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kepemimpinan. Karena jika engkau diberi tanpa memintanya niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah subhanahu wa ta’ala dengan diberi taufik kepada kebenaran). Namun jika diserahkan kepadamu karena permintaanmu niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong).” Hadits ini diriwayatkan al-Imam al-Bukhari.

تِلْكَ ٱلدَّارُ ٱلْءَاخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِى ٱلْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا ۚ وَٱلْعَٰقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ

Artinya: “Itulah negeri akhirat yang Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri di muka bumi dan tidak pula membuat kerusakan. Dan akhir yang baik itu hanya untuk orang-orang yang bertakwa.” (Q. S. Al-Qashash: 83)

Dalam sebuah riwayat, Rasulullah bersabda: “Apabila amanah telah disia-siakan, maka nantikanlah tibanya hari kiamat.” Kemudian ada yang bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan menyia-nyiakan amanat?’ Beliau menjawab, ‘Apabila perkara itu diserahkan kepada selain ahlinya, maka nantikanlah tibanya hari kiamat’.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 59).

Hendaklah menerima jabatan hanya yang sesuai dengan kemampuan saja, jangan memaksakan diri menerima bahkan meminta jabatan demi kenikmatan duniawi karena yang ada hanyalah kehancuran bagi diri sendiri maupun orang lain. Hukum membeli jabatan dalam Islam atau meminta jabatan jika tidak punya kemampuan adalah tidak boleh.

قَالَ ٱجْعَلْنِى عَلَىٰ خَزَآئِنِ ٱلْأَرْضِ ۖ إِنِّى حَفِيظٌ عَلِيمٌ

Artinya: Jadikanlah aku bendahara negara (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.” (Q. S. Yusuf: 55)

Berdasarkan ayat di atas, dapat kita ketahui bahwa Nabi Yusuf meminta sebuah jabatan kepada pemimpin Mesir. Namun ia bukan meminta untuk keuntungan dirinya sendiri saja, tapi ia memang mempunyai kemampuan, kecakapan, dan amanah untuk dimanfaatkan dalam mencapai kemakmuran dan kesejahteraan umat. Dan ia mengetahui jika posisi tersebut diisi oleh orang lain yang tidak mampu maka akan terjadi kekacauan.

Untuk itulah, ia meminta jabatan tanpa diminta, dan hal seperti ini diperbolehkan bahkan menjadi wajib jika negara dalam keadaan genting.

fbWhatsappTwitterLinkedIn