Hukum Berbisnis Dengan Non Muslim dan Dalilnya

√ Islamic Base Pass quality & checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Jual beli atau hubungan dagang merupakan hal yang biasa dilakukan sehari-hari, hal ini pun telah diatur dalam Islam.

Allah Ta’ala berfirman, “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah: 8)

Ibnu Jarir Ath Thobari –rahimahullah– mengatakan, “Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik, menjalin hubungan dan berbuat adil dengan setiap orang dari agama lain yang tidak memerangi kalian dalam agama. (Jaami’ul Bayan fii Ta’wilil Qur’an, 28: 81)

Baca juga:

Ibnu Katsir –rahimahullah– menjelaskan,

“Allah tidak melarang kalian berbuat ihsan (baik) terhadap orang kafir yang tidak memerangi kaum muslimin dalam agama dan juga tidak menolong mengeluarkan wanita dan orang-orang lemah, yaitu Allah tidak larang untuk berbuat baik dan berbuat adil kepada mereka. Karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7: 247).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

Ingatlah! Barangsiapa berlaku zalim terhadap kafir Mu’ahid, mengurangi haknya, membebani mereka beban (jizyah) di luar kemampuannya atau mengambil harta mereka tanpa keridhoan mereka, maka akulah nantinya yang akan sebagai hujah mematahkan orang semacam itu.” (HR. Abu Daud no. 3052. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat penjelasan hadits ini dalam Muroqotul Mafatih Syarh Misykatul Mashobih, Al Mala ‘Ala Qori, 12: 284, Mawqi’ Al Misykah Al Islamiyah).

Dari Maimun bin Mihran, ia berkata, “Ada tiga hal di mana perlakuan antara muslim dan kafir itu sama. Pertama, menunaikan amanat pada orang yang memberi amanat baik muslim maupun kafir. Kedua, berbakti pada orang tua sebagaimana firman Allah Ta’ala (yang artinya),

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya“ (QS. Luqman: 15). Ketiga, memenuhi perjanjian dengan orang yang membuat perjanjian denganmu baik ia muslim atau kafir.” (Hilyatul Auliya’, 4: 87).

Suatu hari seorang lelaki datang menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam guna mengeluhkan kemiskinan yang melilitnya. Tidak selang beberapa lama datang lelaki lain yang mengeluhkan perihal para perampok yang merajalela. Menanggapi keluhan kedua sahabatnya itu beliau bersabda:

Wahai Adi bin Hatim, apakah engkau pernah pergi ke kota Al-Hairah?” Sahabat Adi menjawab, ”Aku belum pernah mmengunjunginya, namun aku pernah mendengar perihal kota tersebut.” Nabi bersabda:

” Jika engkau berumur panjang, niscaya suatu saat nanti engkau akan menyaksikan seorang wanita yang bepergian dari kota Al-Hairah menuju kota Makkah untuk menunaikan ibadah tawaf di Kabah tanpa ada yang ia takuti selain Allah.” (HR. Bukhari)

Baca juga:

Dengan mengamati perkembangan sejarah Islam sejak awal hingga pada saat Islam mencapai puncak kejayaannya, kita mendapatkan satu hal unik yang patut untuk kita cermati bersama.

Walau Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berhasil menundukkan kabilah-kabilah Yahudi, namun tetap saja beliau menjalin hubungan jual beli menurut Islam dengan mereka.

Beliau juga mempercayakan pengolahan ladang-ladang beliau di Negeri Khaibar kepada orang-orang Yahudi, dengan ketentuan bagi hasil. (Muttafaqun ‘alaihi) 

Syeikh Abdul Aziz bin Baz berkata, “Setiap negara bertanggung jawab untuk mengkaji kepentingan masing-masing. Bila suatu negara meyakini bahwa maslahatnya mengharuskan menjalin hubungan diplomatik, perdagangan dan kegiatan
lainnya yang dihalalkan secara syariat, tidak mengapa untuk dijalankan.

Dan bila negara merasa bahwa yang lebih maslahat ialah memutuskan hubungan dengan orang-orang Yahudi, itulah keputusan  yang harus dijalankan.

Dan demikian juga halnya dengan hubungan dagang dengan negara-negara kafir yang lain … Ini semuanya berlaku pada saat umat Islam dalam kondisi lemah, sehingga tidak kuasa berkonfrontasi dengan orang-orang kafir, atau memungut upeti (jizyah) dari mereka bila mereka ahlul kitab atau penganut agama majusi.

Ada pun bila ummat Islam kuasa untuk berperang melawan mereka, tidak dibenarkan mengadakan perjanjian damai atau menghentikan peperangan atau menghapuskan kewajiban membayar jizyah.

Perjanjian damai hanya boleh dilakukan bila umat Islam benar-benar tidak kuasa memerangi mereka. Atau tidak kuasa memaksa mereka membayar jizyah.” (Majmu’ Fatwa Ibnu Baz, 18/450-453)

Islam membolehkan untuk melakukan hubungan dagang atau bisnis dengan non Muslim selama Muslim tersebut juga bisa melaksanakan cara menjaga amanah dalam bisnis Islam dan tidak terikut dengan aturan bisnis yang bertentangan dengan Islam.

Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan mengatakan,

“Seorang muslim diperbolehkan berserikat dengan orang kafir, dengan syarat orang kafir tersebut tidak berkuasa penuh mengaturnya. Bahkan, orang kafir tersebut harus berada di bawah pengawasan muslim agar tidak melakukan transaksi riba atau keharaman yang lain jika ia berkuasa penuh.” (al-Mulakhkhash al-Fiqhi)

Ishaq bin Mansur al-Marwazi bertanya kepada Sufyan, “Apa pandanganmu tentang berserikat dengan seorang Nasrani?”
Beliau menjawab, “Adapun pada sesuatu yang kamu (muslim) tidak lihat, saya tidak menyukainya.”
Al-Imam Ahmad berkomentar,

“Pendapatnya bagus.” (Masail al-Imam Ahmad dan Ibnu Rahuyah)

Khabbab mengatakan:

“Aku dahulu bekerja sebagai pandai besi pada al-Ash bin Wail. Hingga terkumpullah gajiku dan tertahan pada dirinya. Aku pun mendatanginya untuk menagihnya.

Dia justru menjawab, ‘Tidak, demi Allah. Aku tidak akan memberikan upahmu sampai kamu kafir terhadap Muhammad.’ Aku katakan, ‘Demi Allah sampai kamu mati lalu kamu dibangkitkan, aku tidak akan kafir.’

‘Aku akan mati lalu aku akan dibangkitkan lagi?’ tukasnya. Aku pun menjawab. ‘Ya.’ Dia pun berujar, ‘Kalau begitu nanti aku akan punya harta di sana dan punya anak.

Aku akan memberi upahmu di sana.’ Allah l lalu menurunkan ayat, ‘Kabarkan kepadaku tentang seorang yang kafir terhadap ayat-ayat Kami, lalu ia mengatakan, ‘Pasti aku akan diberi harta dan anak’. (Maryam: 77)”

Baca juga:

Dalam hadits yang lain dari Ka’b bin Ujrah z:
أَتَيْتُ النَّبِيَّnفَرَأَيْتُهُ مُتَغَيِّراً فَقُلْتُ: بِأَبِي أَنْتَ، مَا لِي أَرَاكَ مُتَغيِّراً؟ قَالَ: مَا دَخَلَ جَوْفِي مَا يَدْخُلُ جَوْفَ ذَاتِ كَبِدٍ مُنْذُ ثَلاَثٍ. قَالَ: فَذَهَبْتُ فَإِذَا يَهُوْدِيٌّ يَسْقِي إِبِلاً لَهُ فَسَقَيْتُ لَهُ عَلَى كُلِّ دَلْوٍ بِتَمْرَةٍ فَجَمَعْتُ تَمْراً فَأَتَيْتُ بِهِ النَّبِيَّnفَقَالَ: مِنْ أَيْنَ لَكَ، يَا كَعْبُ؟ فَأَخْبَرْتُهُ، فَقَالَ النَّبِيُّ n: أَتُحِبُّنِيْ يَا كَعْبُ؟ قُلْتُ: بِأَبِيْ أَنْتَ، نَعَمْ

Aku menghadap Nabi n, aku pun melihat beliau sudah berubah (tubuhnya). “Kutebus engkau dengan ayahku, mengapa kulihat Anda berubah?” Beliau menjawab,

“Tidak masuk dalam perutku sesuatu yang masuk ke perut makhluk yang memiliki hati (makhluk hidup) sejak tiga hari.” (Ka’b berkata) Aku pun pergi.

Ternyata ada seorang Yahudi yang sedang memberi minum seekor unta miliknya. Aku pun membantunya memberi minum dengan upah satu butir kurma setiap satu timba, hingga aku berhasil mengumpulkan beberapa butir kurma. Lantas aku datang kepada Nabi n. Beliau pun mengatakan,

“Dari mana kurma ini, wahai Ka’b?” Aku pun memberitahukan asalnya kepada beliau. Kemudian beliau mengatakan, “Apakah kamu mencintai aku, wahai Ka’b?” “Iya, kutebus engkau dengan ayahku….” (Hasan, HR. ath-Thabarani. Dihasankan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam kitab Shahih at-Targhib 3/150 no. 3271)

Demikian penjelasan terkait hukum berbisnis dengan non muslim dan dalilnya. Semoga bermanfaat.

fbWhatsappTwitterLinkedIn