Hukum Saham dalam Islam dan Dalilnya

√ Islamic Base Pass quality & checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Saham adalah surat berharga yang merupakan bukti atas bagian kepemilikan suatu perusahaan. Dari pengertian ini, maka jika kamu membeli saham itu artinya kamu membeli sebagian kepemilikan perusahaan dan kamu memiliki hak untuk mendapat bagian keuntungan dari perusahaan tersebut dalam bentuk dividen, dengan catatan perusahaan yang kamu miliki sahamnya memperoleh keuntungan.

Baca juga:

Ada banyak beredar informasi bahwa saham dalam Islam merupakan bentuk investasi yang haram. Bahkan, banyak juga yang beranggapan bahwa saham termasuk dalam bentuk judi. Lalu, apakah anggapan ini benar? Berikut akan dibahas lebih lengkap tentang saham dalam Islam, apakah saham termasuk dalam investasi yang diharamkan atau tidak.

Pandangan Islam terhadap Saham

Telah kita bahas secara singkat pengertian saham di atas, bahwa saham merupakan surat berharga yang menunjukkan bagian kepemilikan atas sebuah perusahaan. Kini, setelah banyaknya pendapat tentang keharaman investasi saham, telah terbit pula saham syariah. Apakah kata ‘syariah’ tersebut menunjukkan bahwa ada saham yang halal?

Saham merupakan salah satu bentuk perangkat yang ada dalam pasar modal. Pasar modal itu sendiri dibutuhkan untuk mengumpulkan modal dari masyarakat untuk kemudian diinvestasikan ke dalam sebuah usaha. Di dunia secara global, pasar modal dipandang memiliki peran terhadap perkembangan ekonomi sebuah negara. Maka, dengan adanya kebutuhan akan keberadaan pasar modal, Majelis Ulama Indonesia (MUI) memandang perlu untuk mengkaji halal atau haramnya pasar modal ini. (Baca juga: Hukum Trading dalam Islam)

Menurut para ulama, secara umum investasi berupa saham hukumnya adalah halal. Saham ini sendiri, dalam perekonomian syariah dipandang sebagai turunan dari musyarakah. Lalu, apakah itu musyarakah? Musyarakah adalah kerja sama mengumpulkan modal antara dua orang atau lebih untuk menjalankan sebuah bisnis. Maka, jika dilihat dari segi ini, investasi saham hukumnya halal. (Baca juga: Hukum Saham dalam Islam)

Lalu, saham seperti apa yang hukumnya halal? Apakah semua saham hukumnya adalah halal? Sebelumnya telah kita bahas secara singkat bahwa ada saham yang disebut sebagai saham syariah. Saham syariah ini sendiri pada dasarnya sama dengan saham konvensional. Namun, ada beberapa perbedaan mendasar yang membedakan antara saham konvesional dan saham konvensional, yaitu dilihat dari akadnya, tata kelola perusahaan penerbit saham, dan cara penerbitan saham tersebut. Syariah atau tidaknya sebuah saham ditentukan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI.

Dengan demikian, kita mengetahui bahwa ternyata ada beberapa syarat yang harus dipenuhi hingga sebuah saham bisa disebut sebagai saham syariah atau tidak. Maka, kita harus benar-benar memperhatikan tentang hukum Syariah yang berlaku sebelum berinvestasi pada saham. Bagaimana caranya? Berikut akan dibahas lebih lengkap mengenai saham dalam Islam, apakah halal atau tidak.

Jenis Saham dan Hukum Membelinya

Setelah mengetahui pandangan Islam terhadap saham secara umum di atas, maka kini kita belajar mengenali saham yang boleh untuk dibeli dan saham yang dilarang untuk membelinya. Sebelumnya, kita harus memahami dulu bahwa dengan kita membeli sebuah saham, maka akan timbul hak dan kewajiban atas saham yang kita beli itu. Besarnya dana yang kita sertakan dalam saham merupakan ukuran atas besarnya kepemilikan kita atas perusahaan tersebut. Bisa dikatakan pula sebesar itu pula tanggung jawab kita atas perusahaan tersebut.

Dari banyaknya jenis saham yang beredar di pasar, ada beberapa segi yang bisa kita jadikan sebagai klasifikasi jenis saham. Jika kita membagi jenis saham berdasarkan hak klaim kita atas kepemilikannya, ada dua jenis saham sebagai berikut:

  1. Saham Biasa (Common Stock)

Jenis saham ini adalah yang paling banyak beredar di pasar modal. Saham biasa memiliki karakteristik utama yaitu tujuan kepemilikannya. Seseorang yang membeli saham biasa memiliki tujuan untuk mendapatkan dividen atas keuntungan yang diperoleh perusahaan. Tujuan lainnya adalah untuk mendapatkan capital gain jika terjadi kenaikan harga saham. Selain itu, seseorang yang memiliki saham biasa hanya akan mendapat dividen jika perusahaan berhasil memperoleh keuntungan. Dalam hal perusahaan mengalami kerugian, pemegang saham biasa akan mendapat pembagian dividen yang paling terakhir (tidak diprioritaskan). (Baca juga: Hukum Jual Beli Saham Dalam Islam)

  1. Saham Istimewa (Preferred Stock)

Saham istimewa merupakan penggabungan antara saham biasa dan obligasi. Dari sini kita bisa mengetahui bahwa karakteristik saham istimewa pun merupakan gabungan antara keduanya, yaitu selain mendapatkan hak dividen dan hak-hak lain seperti di saham biasa, pemegang saham istimewa juga akan mendapat hak-hak yang biasa didapat oleh seorang kreditur.

Baca juga:

Untuk lebih spesifik, seorang pemegang saham istimewa akan mendapat dividen yang jumlahnya tetap dengan suku bunga. Seorang pemegang saham istimewa juga akan mendapatkan dividen meskipun seandainya perusahaan mengalami kerugian. Tidak hanya itu, pemegang saham istimewa akan lebih diprioritaskan dividennya dibanding pemegang saham biasa.

  1. Saham Kosong

Jenis saham yang ketiga ini merupakan saham yang berbeda dari dua jenis saham sebelumnya. Saham kosong tidak memiliki nilai nominal tertulis di lembar sahamnya. Hak pemegang saham kosong hanya terbatas pada menerima dividen. Dia tidak berhak menghadiri RUPS, bahkan saham kosong bisa langsung dihapuskan, baik sebagian atau keseluruhannya.

Saham kosong biasa diberikan atas adanya kesepakatan antara para pemegang saham lainnya. Biasanya penerima saham kosong ini adalah orang-orang yang diharapkan, atau telah dianggap berjasa atas keberlangsungan usaha.

Dari adanya tiga perbedaan karakteristik antara saham biasa dan saham istimewa, para ulama pun menetapkan hukum yang berbeda antara saham biasa, saham istimewa dan saham kosong. Saham biasa dianggap masih boleh untuk dibeli, selama masih mengikuti beberapa aturan Islam atas hubungan kerja bisnis yang akan dibahas selanjutnya. Hal ini dikarenakan, pada saham biasa terdapat karakteristik kesamaan hak dan kewajiban antara pemegang saham dan pemilik usaha. Masih-masing memiliki kewajiban dan hak atas usaha yang dijalankan.

Sementara itu, dalam hal saham istimewa, para ulama ahli fikih sepakat mengharamkannya. Hal ini dikarenakan adanya perlakuan yang tidak setara yang diberikan kepada pemegang saham istimewa jika dibandingkan kepada pemegang saham biasa.

Pemilik saham istimewa sebenarnya tidak memiliki ‘nilai lebih’ hingga berhak mendapatkan prioritas tertentu. Selain itu, dividen atau keuntungan yang diterima oleh pemegang saham istimewa juga mengandung riba karena nilainya yang terjamin tidak peduli pada pembukuan usaha apakah untung atau rugi.

Baca juga:

Dalam hadis riwayat Ahmad, Abu Daud dan an Nasai, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Penghasilan/keuntungan adalah imbalan atas kesiapan menanggung kerugian” (oleh al Albani dinyatakan sebagai hadis hasan). Maka, organisasi OKI dengan badan fikihnya, International Islamic Fiqih Academy, menyatakan “Tidak boleh menerbitkan saham preferen yang memiliki konsekuensi pemberian jaminan atas dana investasi yang ditanamkan, atau memberikan keuntungan yang bersifat tetap, atau mendahulukan pemiliknya ketika pengembalian investasi atau pembagian dividen” (Sidang ke-7, Keputusan no.63/1/7).

Lalu, bagaimana dengan hukum atas saham kosong? Kebanyakan ulama kontemporer melarang penerbitan saham kosong. Hal ini dikarena beberapa alasan, di antaranya saham kosong yang sebenarnya termasuk dalam bentuk jual beli jasa, sehingga nilai jualnya harus diketahui secara jelas. Padahal, tidak tertera nilai nominal yang jelas pada saham kosong. Hal ini termasuk dalam gharar yang dilarang dalam Islam, seperti dalam hadis riwayat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual-beli dengan cara melempar batu dan jual-beli yang mengandung gharar (unsur spekulasi)” (H.R. Muslim). (Baca juga: Asas Sistem Ekonomi Islam)

Syarat Kehalalan Saham dalam Islam

Telah kita bahas boleh tidaknya penerbitan dan kepemilikan saham berdasarkan jenis saham di atas. Dari situ kita ketahui bahwa ternyata ada saham yang boleh dimiliki dan ada saham yang haram untuk dimiliki. Maka, berikut ini akan dibahas lebih lanjut mengenai persyaratan jual dan beli saham menurut para ulama:

  1. Saham diterbitkan oleh perusahaan yang telah beroperasi

Jual beli saham yang dilakukan harus saham yang diterbitkan oleh perusahaan yang sudah beroperasi. Harganya pun harus sesuai kesepakatan dua belah pihak, boleh tidak sama dengan nilai nominal saham dan boleh juga tidak sama. Namun, jika perusahaan penerbit saham masih sedang merintis usahanya dan kekayaannya masih berupa uang, saham hanya boleh diperjualbelikan dengan harga yang sama dengan nilai nominal saham.

  1. Pembayaran harus secara kontan

Jual beli saham harus dilakukan dengan pembayaran kontan. Penyebabnya adalah uang yang dibayarkan untuk saham merupakan perwakilan atas sejumlah uang modal yang tersimpan, bukan aset perusahaan. Maka, jika ada jual beli saham dengan harga lebih mahal atau lebih murah daripada nilai nominal saham, hukumnya akan sama dengan tukar menukar mata uang dengan margin tertentu yang tidak dibenarkan secara syariah. (Baca juga: Bahaya Hutang Dalam Islam)

  1. Bidang usaha perusahaan halal

Tidak hanya jenis saham yang diterbitkan dengan cara yang halal, sektor usaha perusahaan penerbit saham juga harus bergerak di sektor yang halal. Bagaimanapun, sebagai pemegang saham nantinya kita akan menjadi pemiliki atas sebagian perusahaan tersebut. Hal ini akan mewajibkan kita untuk turut bertanggung jawab atas kehalalan barang atau jasa yang dijual perusahaan tersebut. Sesuai dengan surat al Maidah ayat 2, Allah berfirman, “Dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”. (Baca juga: Hewan Halal Menurut Islam)

  1. Tidak ada praktik riba

Tidak hanya barang dan jasa yang disediakan oleh perusahaan penerbit saham harus halal, perusahaan tersebut juga harus bebas riba. Artinya, perusahaan tidak melakukan pembiayaan, penyimpanan asset dan lainnya dengan cara riba. Hal ini sesuai dengan kaidah fikih, “Bila tercampur antara hal yang halal dengan hal yang haram, maka yang lebih dikuatkan adalah yang haram”. (Baca juga: Bahaya Riba)

  1. Jual beli saham dengan cara yang dibenarkan

Jual beli saham harus menggunakan hukum jual beli yang berlaku pada jual beli barang biasa. Maka, jika melihat praktik yang terjadi sekarang, banyak perilaku jual beli saham yang tidak dibenarkan secara Islam. (Baca juga: Jual Beli Terlarang dalam Islam)

Kesimpulannya, jual beli saham posisinya sama dengan jual beli barang komoditas lainnya. Maka, hukumnya pun akan mengikuti hukum jual beli dalam Islam. Wallahu a’lam bishawab.

fbWhatsappTwitterLinkedIn