Hukum Jaminan Hutang Dalam Islam

√ Islamic Base Pass quality & checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Ekonomi memang menjadi sektor yang sangat penting dalam kehidupan. Uang memang bukan segalanya. Namun, banyak hal yang pemenuhannya harus menggunakan uang. Hal inilah yang mendorong banyak orang berjuang keras mencari pekerjaan hingga rela bekerja siang dan malam. Pahamilah keutamaan bekerja keras dalam Islam!

Meski begitu, tetap saja ada yang mendapati kesulitan ekonomi, yakni terjadi ketika pengeluaran lebih besar daripada pendapatan. Alhasil, mereka pun menempuh jalan pintas dengan berhutang kepada lembaga pembiayaan, keluarga atau teman. Saat ini, sudah banyak beredar hutang dengan menyertakan jaminan sebagai bukti kepercayaan dari penerima hutang terhadap pemberi hutang tersebut.

Bagaimanakah hukum jaminan hutang dalam Islam?

Dalam sistem ekonomi Islam, hutang-piutang dicapai dengan kesepakatan dua belah pihak atau yang dikenal dengan istilah akad. Dalam kasus di atas, tergolong ke dalam akad tautsiqat, yaitu akad yang bertujuan memberikan jaminan kepercayaan kepada pelaku akad dan mengamankan orang yang berhutang tersebut atas utangnya, seperti akad kafalah, hiwalah, dan rahm (gadai).

Dalam arti lain barang yang menjadi jaminan tersebut bukanlah tujuan utama, hanya sebagai penjamin atas pinjaman yang diterima pelaku akad tersebut. Adapun sifat dari akad ini ialah tambahan (‘aqd ziyadah).

Menurut ketentuan, barang yang menjadi jaminan tersebut tidak dapat dimanfaatkan oleh pemberi pinjaman karena bersifat amanah bagi murtahin (yang memberi utang). Kecuali bila ada kesepakatan di antara keduanya, ada ulama yang berpendapat boleh, namun ada pula yang tidak.

Baca juga :

Dalam Fiqh Sunah tertulis,

فإن كان دابة أو بهيمة فله أن ينتفع بها نظير النفقة عليها فإن قام بالنفقة عليها كان له حق الانتفاع، فيركب ما أعد للركوب كالابل والخيل والبغال ونحوها ويحمل عليها، ويأخذ لبن البهيمة كالبقر والغنم ونحوها

“Jika barang gadai berupa hewan tunggangan atau binatang ternak, maka murtahin boleh memanfaatkannya sebagai ganti dari biaya yang dia keluarkan untuk itu. Orang yang menanggung biaya, dia berhak untuk memanfaatkan barang itu.

Dia boleh menaikinya jika itu hewan tunggangan seperti kuda, onta, atau bighal. Dan boleh dipakai untuk ngangkut barang. Dia juga boleh mengambil susunya jika hewannya bisa diperah, seperti kambing atau sapi.”

(Fiqh Sunah, 3/157)

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَبَنُ الدَّرِّ يُحْلَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَالظَّهْرُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِى يَرْكَبُ وَيَحْلِبُ النَّفَقَةُ

“Susu hewan perah bisa diperah sebagai ganti biaya perawatan ketika dia digadaikan. Punggung hewan tunggangan boleh dinaiki sebagai ganti biaya perawatan ketika dia digadaikan. Kewajiban bagi yang menunggangi dan yang memerah susunya untuk merawatnya.

(HR. Abu Daud 3528 dan dishahihkan al-Albani)

Baca juga :

Sedangkan, hak milik dan perawatannya tetap menjadi tanggung jawab pihak yang berhutang (rahin). Jika barang gadai tersebut dimanfaatkan oleh pihak yang memberi pinjaman, maka dapat diartikan bahwa ada keuntungan (tambahan) yang diperolehnya. Seperti pernyataan dalam dalil berikut ini.

كُلُّ قَـرضٍ جَرَّ مَنفَـعَـةً فَهُوَ رِباً

“Setiap utang yang memberikan keuntungan, maka (keuntungan) itu adalah riba.” 

(HR. Baihaqi)

عقد الرهن عقد يقصد به الاستيثاق وضمان الدين وليس المقصود منه الاستثمار والربح، وما دام ذلك كذلك فإنه لا يحل للمرتهن أن ينتفع بالعين المرهونة، ولو أذن له الراهن، لانه قرض جر نفعا، وكل قرض جر نفعا فهو ربا

“Akad rahn adalah akad yang tujuannya untuk menjamin kepercayaan dan jaminan utang. dan bukan untuk dikembangkan atau diambil keuntungan. Jika seperti itu aturannya, maka tidak halal bagi murtahin untuk memanfaatkan barang yang digadaikan, meskipun diizinkan oleh rahin. Karena berarti utang yang memberikan adanya keuntungan. Dan semua utang yang memberikan keuntungan, statusnya riba.”

(Fiqh Sunah, 3/156)

Pihak yang berhutang tersebut wajib mengembalikan pinjaman dalam jangka waktu yang telah disepakati. Jika melanggar ketentuan tersebut, maka pihak yang berhutang harus menerima konsekunsinya. Dalam hukum ekonomi syariah tidak ada tambahan dari arah yang tidak jelas atau yang dikenal dengan riba. Sebab hukum riba menurut Islam ialah haram. Sebagaimana yang tertuang dalam dalil di bawah ini.

Allah ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ الرِّبَا أَضْعَافاً مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ . وَاتَّقُواْ النَّارَ الَّتِي أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.” 

(Qs. Ali Imron [3]: 130)

Baca juga :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” 

(QS. an-Nisa: 29)

Dua belah pihak dalam akad ini atau lainnya harus mencapai kesepakatan dimana keduanya harus saling ridha. Seperti yang tertulis dalam hadits di bawah ini.

Dari Abu Said al-Khudri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ

“Jual beli harus dilakukan saling ridha.”

(HR. Ibn Majah 2269, Ibn Hibban 4967 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth)

Itulah hukum jaminan hutang dalam Islam yang dapat Anda ketahui. Semoga bermanfaat!

Allahu a’lam.

fbWhatsappTwitterLinkedIn