Hukum Mengkafirkan Sesuatu Menurut Islam dan Dalilnya

√ Islamic Base Pass quality & checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Perkara hukum mengkafirkan orang lain sebenarnya bukanlah hal yang mudah. Mengkafirkan seseorang tidak bisa dilakukan begitu saja. Namun sayangnya, kebanyakan Muslim saat ini dengan mudah mengkafirkan sesuatu. Padahal Rasul telah memperingatkan akan bahayanya mengkafirkan seorang mukmin tanpa kejelasan. Apakah hukum mengkafirkan sesuatu menurut Islam?

Dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam beliau bersabda:

…وَلَعْنُ الْمُؤْمِنِ كَقَتْلِهِ، وَ مَنْ رَمَى مُؤْمِنًا بِكُفْرٍ فَهُوَ كَقَتْلِهِ.

“… dan melaknat seorang Mukmin seperti membunuhnya. Siapa saja yang menuduh seorang Mukmin dengan kekafiran, maka ia seperti membunuhnya.”

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin t berkata tentang hukum mengkafirkan dan memfasikkan,

“Hukum kafir dan fasik bukanlah hak kita. Itu kita kembalikan kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Hukum ini termasuk hukum-hukum syari’ah yang dasar rujukannya al Qur`an dan as-Sunnah.”

Hati-hatilah dalam mengkafirkan seseorang

Untuk itu dalam masalah hukum mengkafirkan sesuatu menurut Islam ini wajib bersikap sangat hati-hati. Tidak boleh dihukumi kafir atau fasik, kecuali orang yang ditunjukkan oleh Kitab dan Sunnah atas kekafiran atau kefasikannya.

Baca juga:

Jika seseorang mengkafirkan sesama muslim, pasti akan datang pada salah satunya

Diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari ‘Abdullah bin ‘Umar c , bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

إِذَا كَفَّرَ الرَّجُلُ أَخَاهُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا.

“Bila seseorang mengkafirkan saudaranya (yang Muslim), maka pasti seseorang dari keduanya mendapatkan kekafiran itu.”

Dalam riwayat lain:

إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَإِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ.

“Jika seperti apa yang dikatakan. Namun jika tidak, kekafiran itu kembali kepada dirinya sendiri.”

Diriwayatkan pula dalam Shahih Muslim dari Abu Dzarr Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

وَمَنْ دَعَا رَجُلاً بِالْكُفْرِ أَوْ قَالَ عَدُوَّ اللهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلاَّ حَارَ عَلَيْهِ.

“Barangsiapa memanggil seseorang dengan kafir atau mengatakan kepadanya “hai musuh Allah”, padahal tidak demikian halnya, melainkan panggilan atau perkataannya itu akan kembali kepada dirinya.”

Dua hal yang harus dipertimbangkan dalam mengkafirkan seseorang

Adapun sebelum mengkafirkan seseorang atau sesuatu, maka harus dipertimbangkan dua hal terlebih dahulu:

  • Dhilalah (penunjuk) Kitab dan Sunnah, bahwa perkataan atau perbuatan itu mengakibatkan menjadi kufur atau fasik.
  • Inthibaq (ketepatan/kesesuaian) berupa hukum yang diberikan ini terhadap si pelaku. Yaitu, apabila telah terpenuhi syarat-syarat pengkafiran dan tidak adanya suatu halangan apa pun.

Baca juga:

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan,

“Adapun takfir (pengkafiran), maka yang benar ialah, bahwa barangsiapa dari ummat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salam yang berijtihad dan bertujuan mencari al haq kemudian salah, maka tidak dikafirkan. Sedangkan siapa yang mengetahui secara jelas apa yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam , kemudian menentangnya setelah nyata kebenaran baginya dan mengikuti selain jalan kaum Mukminin, maka ia adalah kafir.

Dan barangsiapa mengikuti hawa nafsunya, tidak bersungguh-sungguh mencari al haq, dan berbicara tanpa dasar ilmu, maka ia telah berbuat maksiat dan dosa. Selanjutnya ia bisa menjadi fasik, dan bisa juga ia mempunyai kebaikan-kebaikan yang dapat mengalahkan keburukannya.” (Majmu Fatawa’ (XII/180)

“Padahal aku senantiasa -dan orang yang selalu mendampingiku selalu mengetahuinya- termasuk orang yang sangat melarang untuk menisbatkan orang tertentu dengan kekafiran, kefasikan, dan kemaksiatan; kecuali jika orang itu bahwa telah nyata baginya kebenaran ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam , yang barangsiapa menyalahinya kadangkala bisa menjadi kafir, fasik, atau pelaku maksiat.

Dan aku menjelaskan bahwa Allah Ta’ala mengampuni kesalahan (yang tidak disengaja) bagi ummat ini. Pengampunan tersebut meliputi kesalahan dalam masalah khabariyyah qauliyyah dan masalah-masalah ‘amaliyyah. Para salaf masih banyak berbeda dalam masalah ini, tetapi tidak seorang pun di antara mereka yang menyatakan kafir, fasik, atau pelaku maksiat terhadap seseorang” (Majmu Fatawa’ (III/229)

Baca juga:

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah juga mengatakan,

Dasar masalah ini ialah bahwa perkataan yang merupakan kufur kepada Kitab, Sunnah, dan ijma’ disebut sebagai kufur dari segi perkataannya, dikatakan sebagaimana yang ditunjuk oleh dalil-dalil syari’at. Karena, iman termasuk hukum-hukum yang diambil dari Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, bukan termasuk hukum manusia atas dasar dugaan dan hawa nafsu mereka. Setiap orang yang mengatakan perkataan kufur tidak mesti dikatakan kafir hingga terpenuhi pada dirinya syarat-syarat takfiir dan tidak ada halangan-halangannya.

Misalnya saja, orang yang berkata bahwa khamr atau riba adalah halal, disebabkan baru masuk Islam atau dibesarkan diperkampungan terpencil atau mendengar perkataan tersebut berasal dari Al Qur`an atau dari hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam, Seperti halnya ada diantara para Salaf yang mengingkari suatu perkara sampai nyata benar bagi dirinya bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam telah mensabdakannya,

“Mereka itu tidak dihukumi kafir hingga jelas bagi mereka hujjah yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam, sebagaimana telah difirmankan oleh Allah Ta’ala, yang artinya: Agar tidak ada alasan bagi manusia membahtah Allah sesudah diutusnya Rasul-Rasul itu.” (an-Nisa`/4:165). Dan Allah Ta’ala telah mengampuni untuk ummat ini kesalahan dan kehilafan (lupa).”

Baca juga:

Syaikh Dr. Nashir bin Abdul Karim al-’Aql berkata,

“Takfir/penjatuhan vonis kafir adalah perkara yang diatur dalam hukum syari’at acuannya adalah al-Kitab dan as-Sunnah. Maka tidak boleh mengkafirkan seorang muslim karena ucapan atau perbuatannya selama dalil syari’at tidak menunjukkan atas kekafirannya. Dengan disebutkannya istilah hukum kafir -secara umum- atas suatu ucapan atau perbuatan itu tidak secara otomatis menunjukkan jatuhnya vonis kafir tersebut -secara khusus- kepada orang tertentu -yaitu pelakunya- kecuali apabila syarat-syarat -pengkafiran- itu sudah terpenuhi dan penghalang-penghalangnya tersingkirkan. Takfir merupakan hukum yang sangat berbahaya resikonya, oleh sebab itu wajib meneliti segalanya/tatsabbut dan berhati-hati di dalam menjatuhkan vonis kafir ini kepada seorang muslim.” (Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah, hal. 19 pdf)

Maka dari itu, masalah hukum mengkafirkan sesuatu menurut Islam hendaknya jangan dijadikan hal yang mudah. Ingatlah bahwa Allah Maha Membolak-balikkan Hati sehingga bisa saja seseorang yang dianggap kafir karena baru belajar agama justru menjadi yang lebih beriman dan bertakwa di hadapan Allah.

Semoga saja kita diberikan kekuatan iman dan takwa serta keinginan untuk selalu belajar agama seumur hidup kita. Aamiin.

fbWhatsappTwitterLinkedIn